Minggu, 17 Oktober 2010

KUJANG PILAWA (Gunung Geulis, Gunung Mananggel)

KUJANG PILAWA
 DI DALAM KERAJAAN JAMPANG MANGGUNG


Kerajaan Jampang Manggung didirikan oleh Kujang Pilawa pada abad ke IV M. ya’ni  : bulan kawolu tahun 330 Saka ( lebih kurang tahun 406 s/d 407 M ).
Sebelumnya Kerajaan Jampang Manggung disebut Jampang Datar dan di pimpin oleh seorang Raja bernama Sugiwanca atau dengan sebutan lain Aki Wengku dari Malabar.
Salah seorang Putri Sugiwanca ada yang menjadi istri Kujang Pilawa, jadi Kujang Pilawa adalah mantu dari Sugiwanca.
Pada masa usia menjelang tua, Sugiwanca menunjuk mantunya yaitu Kujang Pilawa untuk menggantikan tahta Kerajaan di Jampang Datar, sedangkan untuk menggantikan kedudukan di Malabar Sugiwanca menunjuk keponakannya bernama Gasman atau dengan sebutan lain Sabatan Kati.
Setelah dua Kerajaan ini resmi terpisah dan masing-masing mempunyai seorang Raja, maka Kujang Pilawa mengganti nama Jampang Datar menjadi Jampang Manggung dan menjalin persahabatan dengan Kerajaan lainnya, terutama dengan Malabar, Sundapura, Purwakarta dan Kalapa, selain itu ada ikatan wilayah dengan seorang Maha Raja dari Kerajaan Tarumanagara.
Kujang Pilawa sendiri berasal dari negri Para Sunda, setelah menjadi Raja Jampang Manggung beliau melanjutkan program yang telah dirintis oleh mertuanya Sugiwanca ( Aki Wengku ) terutama yang belum selesai di laksanakan, lalu beliau melengkapi dari setiap kekurangan yang ada. Untuk program yang masih dianggap kurang tepat dan banyak diartikan keliru oleh sebahagian besar warga masyarakat jampang Manggung, beliau mengantikannya dengan sesuatu yang lebih mudah di pahami oleh masyarakat dan gampang pula di sosialisasikan oleh halayak.
Kujang Pilawa adalah seorang Raja yang sangat peduli akan nasib rakyatnya, baik yang menyangkut ekonomi dan kesejahteraan, kesehatan dan keamanan maupun yang terkait dengan moral Bangsa sebagai salah satu pilar keberhasilan, kekokohan dan kemajuan dari suatu Negri.
I. Untuk membangun moral Bangsa, Kujang Pilawa sangat memperhatikan para Ing Paya ( sebuah istilah untuk para Guru Agama / Tabib / Ahli Pengobatan ) yang berada di Pasanggrahan-pasanggrahan untuk tetap setia memberikan atikan dan didikan terhadap anak muridnya dan melayani masyarakat yang membutuhkan, demi kelancaran program tersebut Kujang Pilawa memberikan sebahagian penghasilan dari lahan Kerajaan yang dikhususkan untuk kebutuhan tersebut.
II. Didalam meningkatkan tarap ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, Kujang Pilawa membuka pasar-pasar tradisional menurut kebutuhan masyarakat, sedangkan untuk pasar induk berada di tengah-tengah keramaian yang letaknya tidak jauh dari Keraton Jampang Manggung. Apabila hasil dari pertanian melimpah ruah seperti Gula, Kopi, Hajeli, Gandum, Pete, Jengkol, Canar, Jahe, Talas, Kupa, Durian, Lobi-lobi dan buah-buahan lainnya, maka warga masyarakat akan membawanya ke Negri Kalapa atau Dayeuh Taruma untuk ditukar dengan barang-barang yang di butuhkan oleh masyarakat Jampang Manggung baik berupa perkakas maupun barang lain yang sebahagian didatangkan dari Negri Gangga, Campa dan Cina, sedangkan yang lainnya dapat langsung ditukar dengan Mas dan Perak.
Bagi para pedagang yang suka berpetualang biasanya menunggu kapal-kapal pesiar di pinggir Sungai Citarum yang mencari rempah-rempah dari hasil pertanian khususnya yang dihasilkan dari Jampang Manggung. Ada pula yang membawa barang dagangannya sampai ke Indrabumi sebelah timur di dekat Gunung Cereme ( Ciremai ) sebab disana sudah menunggu para pembeli dan para penjual dagangan-dagangan lainnya yang berasal dari Benggala dan Sukaya.
III. Didalam mengatasi kesehatan masyarakat, Kujang Pilawa mempercayakan kepada para Ing Paya untuk tetap menjaga, memelihara dan melestarikan Ilmu ketabiban tradisional yang telah di wariskan para leluhur Bangsanya, dan terbukti mampu mengatasi berbagai macam penyakit yang diderita dengan media Air bersih atau Sungai yang mengalir serta tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat. Hal ini menyebabkan Kerajaan Jampang Manggung semakin populer didalam hal tersebut, sehingga suaranya terdengar sampai ke Marcapada termasuk Negri Cina dan Gangga, dan dari kedua Negri inilah banyak sekali utusan Negri atau datang atas keinginan sendiri untuk meneliti dan belajar Ilmu pengobatan tersebut.
IV. Dalam mengatur keamanan dan ketertiban masyarakat, Kujang Pilawa menunjuk Patih yang dapat dipercaya menjadi Turus Juru Turus Juar ( menjaga keamanan dari dalam dan luar ). Bagi Turus Juru, punya tugas untuk mendekati masyarakat, kemudian memberikan penyuluhan dan bimbingan agar hidup masyarakat aman damai dan sentosa, tidak bertindak kriminal dan hormat kepada hukum. Masalah ini sudah barang tentu menjadi perhatian dari warga terhadap Turus Juru sendiri, oleh karena itu Turus Juru harus memberikan contoh yang baik, oleh karenanya didalam pengangkatannya pun Kujang Pilawa sangat teliti dan cermat.
Adapun tugas Turus Juar adalah mengawasi wilayah Jampang Manggung agar tetap terjaga dan utuh tanpa ada penyerobotan dari pihak luar, begitu pula terhadap bangsa-bangsa pendatang dari Negri lain, Turus Juar akan selalu mewaspadai. Berkaitan dengan itu semua, ternyata Kujang Pilawa telah teruji dan terbukti memiliki kemampuan yang luar biasa, salah satu contohnya : Pada saat pasukan dari Negri Daha hendak memasuki wilayah Jampang Manggung dengan membawa pasukan terlatih yang berjumlah 800 orang, maka dengan cepat dan sigap Kujang Pilawa memanggil para pejabat dan Turus Juar untuk mengadakan rapat kilat, seterusnya memberikan intruksi untuk mempertahankan Kerajaan Jampang Manggung sampai titik darah penghabisan, dengan demikian perang tanding pun tak dapat di elakkan, saling menyerang saling memanah saling melempar, menombak dan bunuh-membunuh, yang akhirnya pasukan dari Kerajaan Jampang Manggung dapat mengalahkan pasukan Daha selama perang Tiga hari Tiga malam. Banyak korban disana-sini termasuk korban sipil yang tidak berdosa, lebih dari Empat ratus korban meninggal dunia dari pasukan Daha, sedangkan sebahagian lagi menjadi tawanan perang dan sisanya melarikan diri kearah yang tidak sama, setiap kali pasukan Daha mencoba masuk menerobos, tidak pernah mereka berhasil menguasai dan menjajah Kerajaan Jampang Manggung.
Contoh lainnya : ketika Bangsa Banggala datang ke Jampang Manggung dengan jumlah yang sangat banyak untuk merompak dan bertindak sewenang-wenang terhadap warga, seketika itu pula warga Jampang Manggung mengadakan perlawanan mati-matian, kemudian di Bantu oleh pasukan Kerajaan yang di pimpin oleh Turus Juru dan berhasil menumpas para pengacau dalam waktu sehari.


  Kujang Pilawa sangat memperhatikan Pitutur Ajen
Selain itu di dalam menjalankan program Negara dan kebijakannya, Kujang Pilawa selalu memperhatikan aturan yang berlaku pada saat itu, yaitu : Ajen Galuh, Ajen Pananggelan dan Ajen Galunggung.
Ajen-ajen tersebut adalah warisan yang sangat berharga dari Leluhurnya, dan yang sangat berperan untuk mengajarkan Ajen-ajen ini di namakan Ing Paya, apabila Ing Paya tersebut memiliki ilmu pengetahuan yang lebih luas serta mempunyai kelebihan-kelebihan lain tentang penyakit dan bathin, maka Ing Paya itu disebut Ing Payagung.
Adapun yang disebut Ajen tersebut ialah sebagai berikut :
  1. Ajen Galuh artinya : Galuh Galeuh Galih, sesuatu ajaran yang menjelaskan tentang adanya Sang Hyang Batara Tunggal ( Tuhan Yang Maha Esa ), Ia memberikan ruh kehidupan terhadap seluruh Makhluknya dan ruh kejujuran terhadap jiwa seseorang, oleh karena itu setiap Manusia harus jujur terhadap dirinya sendiri apalagi terhadap yang lain, lalu mengetahui bahwa kehidupan dirinya karena ada yang menghidupkan, ya’ni suatu Dzat yang maha hidup. Ajen Galuh ini juga mengajarkan ketulusan, kelurusan, kebenaran dan harus dapat melihat masa kini dan saat mendatang, sehingga manusia harus memahami tentang sebab akibat serta hukum Alam yang sangat jujur dan kudrat.
  2. Ajen Pananggelan ialah : Sebuah Atikan yang mengajarkan bahwa : hadirnya manusia di Alam pawenangan ini sebagai makhluk sosial yang hidup dan kehidupannya membutuhkan bahkan bergantung dengan makhluk lainnya, oleh karenanya atikan tatakrama menjadi penting adanya, seperti menghormati Ibu bapa, Kakek Nenek dan seterusnya, menghormati Guru Pinisepuh dengan mematuhi segala nasihat yang baiknya, merendahkan sayap dengan tidak menyombongkan diri, mentaati pemimpin selama berada pada jalur yang benar dan perintahnya juga benar, mengetahui mana hak dan kewajiban, dilarang mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.
Ajen Pananggelan pun mengajarkan tentang Darma, yaitu manusia harus usaha dan ikhtiar sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan bukti dari adanya kejujuran jiwa, kebiasaan  ini merupakan ajaran yang telah di wariskan Adam dan Hawa serta Tsis.
Bagi para pemelihara hewan Kerbau, Sapi, Kambing dan Domba yang mau mengembalakan hendaklah menggembala ketika Matahari melewati kepala ( setelah Dhuhur ) namun di kandang harus di siapkan rumput untuk makanan malam dan pagi, memberi makan malam sebaiknya di lakukan setelah malam gelap ( dari mulai jam 21.00 s/d jam 24.00 ) sedangkan memberi makan pagi pada saat matahari naik satu tombak ( kurang lebih jam 7.00 s/d jam 8.00 ) hal ini di lakukan bila hewan ternak tidak sedang dikerjakan di ladang, apabila hewan ternak itu di kerjakan, berikanlah makan ketika waktu Sasah ( sebelum shubuh ), dan hewan tidak boleh di kerjakan melampaui batas hari, yaitu sampai matahari tepat diatas kepala ( Dhuhur ).
Mandikanlah kerbau dua kali sehari atau tiga kali, kunci kehidupan kerbau adalah perutnya selalu kenyang dan cukup mandinya ditambah kandang harus bersih, selalu ada api unggun sepanjang malam, kepalanya sering di elus begitu juga tanduknya, jika binatang itu kurang jinak ludahi hidung dan kepalanya. Bagi yang tidak mau menyediakan rumput di kandang harus menggembalakan ternak dari pagi sampai sore dan mandikan dua sampai tiga kali sehari, sedangkan bagi yang tidak mau menggembalakannya harus menyediakan rumput satu Sundung untuk satu kerbau dan mandikan dua kali sehari pagi dan sore.
Untuk Domba cukup dimandikan satu minggu sekali dan berikan makanan yang cukup serta daun Dadap satu kepal untuk satu Domba dua minggu sekali untuk menjaga kesehatan tubuhnya, untuk Kambing tidak usah di mandikan kecuali bila perlu karena kotoran dan lain sebagainya, namun berikan daun Haur yang muda dua minggu sekali untuk menjaga kesehatan, daun Dadap dan daun Haur berlaku pula bagi kerbau, Sapi dan Kuda. Ini adalah yang sempat di tulis oleh para Ing Paya.
Bagi orang yang hatinya cenderung untuk berdagang, maka harus menjadikan para pembeli menjadi tuannya, Ia harus berlaku jujur sekalipun tidak harus membuka rahasia modal sendiri, namun tidak boleh dusta dan menipu serta harus ada kelayakan harga agar saling menguntungkan, tidak boleh mengambil kesempatan untuk merugikan orang yang bodoh dan tidak tahu, bila ini dilakukan tentu akan sejahtera.
Perhatikan dengan cermat barang yang akan di jual di pasar, di lapakan atau di Dayeuh Taruma, bila beruntung dari hasil jualannya, jangan lupa harus Darma bagi kebaikan hidup dan kehidupan. Inilah yang sempat di tulis oleh para Ing Paya.
Apabila mau bertani perhatikan Bintang Raja Desa ( Bintang Tujuh dan Tiga ). Sekali-kali tidak boleh menggarap hutan Kabuyutan ( Hutan Larangan / Titipan ) karena akan mendatangkan malapetaka bagi kehidupan bangsa dan keluarga di masa mendatang.
Peliharalah Hutan Raja ( Tutupan ) ambil manfaat dari Hutan tersebut Madu Odeng, Nyiruan ( Lebah ) dan Teuweul untuk di minum dan di jual belikan, tanami Daun Sirih dan Laja Goah, Rotan dan Bungbuay, buah-buahan yang dapat dimakan atau untuk obat, Honje, Suruh dan Kondang yang semuanya dapat diambil manpaatnya, tetapi tidak boleh menebang pohon sembarangan, tanyakanlah kepada Patih Sahung ( Juru kunci yang mengetahui seluk beluk Gunung dan Hutan serta mengetahui sebab dan dampak yang diakibatkan oleh kesalahan tangan manusia ).
Pada lahan Hanyaran ( Bukaan / Baladahan atau Garapan  ) para petani harus benar-benar menggarap tersebut sebaik mungkin agar hasilnya cukup menggembirakan, namun harus di ingat di pinggiran dan ditengah-tengah kebun sebaiknya di tanami pohon Nangsi dan Lobilobi, atau Menteng dan Bencoy, Gandaria dan Cereme. Ini adalah sebagian yang sempat di tulis para Ing Paya.
Bagi orang yang suka menolong baik dengan tenaga atau pikiran, jasa atau ilmu pengetahuan, lakukanlah dengan setulus hati, ringankanlah masalahnya jangan terlalu memberatkan untuk upah dan pemberian, tentu saja Tuhan akan membalas setiap kebaikan yang di lakukan. Begitu juga bagi yang mengabdikan diri untuk Bangsa dan kemanusiaan, waktu yang tersita, pikiran dan ilmu pengetahuan yang selalu dipungsikan. Inilah sebahagian yang sempat ditulis oleh para Ing Paya.
Apabila menjadi Tuan/majikan, maka sayangilah para pekerja dan berikan haq mereka seutuhnya, tetapi jika pekerja melakukan kesalahan tegurlah dan berikan nasihat padanya, jika kesalahanya telah melampaui batas berikan sanksi yang seimbang atau ganti dengan pekerja yang lain, laporkan kepada Patih untuk dimasukan ke ruang pendidikan orang nakal. Apabila menjadi karyawan atau kuli harus melaksanakan tugas dari Tuan/Majikan dengan penuh tanggungjawab, dan tidak lalai sehingga membuat hati majikan merasa senang dan tidak marah, jangan sekali-kali mencuri waktu atau mengambil barang milik Tuan dan Majikan kecuali atas seizin dan keridloannya. Inilah yang sempat ditulis oleh para Ing Paya.
Jika menjadi petugas keamanan, terlebih dahulu harus mengamankan diri dari tindakan tercela, kemudian melangkah dengan penuh keberanian dalam menjalankan tugas, dan harus cermat sebaik mungkin, dilarang bertindak yang berlebihan, apalagi sampai menghilangkan nyawa orang, kecuali untuk menjaga diri dan sesuatu yang dibenarkan, bertanyalah kepada Raja dan Ing Paya agar tidak menyesal di kemudian hari, berjalan dengan layak, hormati Raja dan Ing Paya, hormati orang tua, Pini sepuh, sayangi kaum wanita dan seluruh anak bangsa. Inilah yang sempat ditulis para Ing Paya.
Hidup harus rukun dan harmonis, waspadalah apabila datang serigala dari arah barat dengan menutupi semua gigi dan taringnya, tetapi ingat tidak setiap yang  datang dari arah barat itu serigala, adapula burung waliwis (belibis), merpati serta kerak dan ciung. Hati-hati terhadap harimau yang datang dari arah timur, namun tidak setiap yang datang dari timur itu harimau, adapula anjing penjaga, Angsa yang bersuara lantang memberi tahu penghuni rumah agar tidak kecolongan, perhatikan yang datang dari arah selatan dan utara, jika mereka obat tentu akan memberi kesehatan, sedangkan jika racun pasti akan menebar penyakit. Tanamlah pohon Dadap, Angsret, dan Kilalayu di pinggir kali dan jalan. Inilah yang sempat dicatat oleh para Ing Paya.
Para Ing Paya harus mewakili Adam dan Syits, sedangkan Adam dan Syits melaksanakan tugas dari Sang Hyang Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa). Salah satu tugasnya harus menyinari setiap kegelapan dan memberi Ilmu kehidupan. Hidup dan kehidupan ibarat Matahari dan sinarnya, jika Matahari ada, namun tidak bercahaya apa pula namanya, seandainya cahaya ada, tetapi tidak tahu dari mana datangnya, bagaimana pula bertanyanya. Inilah yang sempat ditulis oleh para Ing
 Paya.
  1. Ajen Galunggung : Ajen ini mengajarkan hubungan manusia dengan Alam semesta, pertama hubungan manusia dengan Binatang.
Binatang dibagi kepada beberapa bagian, ada binatang yang membahayakan, ada pula yang tidak, ada yang boleh dimakan dagingnya, ada juga tidak boleh, beberapa binatang boleh di buru, namun sebahagian tidak boleh di buru, begitu pula untuk dipelihara, ada yang diperbolehkan ada yang tidak.
Binatang yang dianggap berbahaya seperti Harimau, Macan tutul dan Macan Dahan atau yang sejenis dengan binatang tersebut. Binatang ini tidak boleh diburu kecuali jika memasuki Kampung halaman atau lapangan tempat bermain anak-anak, mengganggu manusia dan Hewan ternak, sebenarnya tempat mereka di Hutan belantara, biarkan mereka hidup damai di tempatnya, jika masuk ke dalam Hutan yang di tempati binatang-binatang itu, kabarilah mereka dengan cara membunyikan kentongan Bambu pasti mereka akan menjauh dan tidak akan mengganggu, janganlah sekali-kali mereka di buru dan di sakiti, dagingnya tidak boleh di makan kecuali bila terpaksa dan hanya untuk obat-obatan itu pun harus seijin Patih Sahung.
Adapun Babi Hutan boleh di buru jika berkeliaran ke lahan-lahan pertanian, masuk Kampung halaman, namun tidak boleh sengaja memasuki Hutan Kabuyutan ( Larangan ) untuk mengejar-ngejar dan memburunya. Apabila Babi Hutan itu mati, maka dagingnya bukan untuk manusia, melainkan untuk Anjing dan Serigala dan pada taringnya terdapat Roh jahat.
Kambing Hutan yang datang ke Kampung halaman atau ke lahan pertanian boleh di buru sampai ke Hutan Raja ( Tutupan ) dagingnya boleh di makan oleh Manusia tanduknya menjadi hiasan dan kulitnya menjadi tempat duduk dan bersandar, jangan sekali-kali mengejar dan memburu Kambing Hutan atau apapun di Hutan Kabuyutan ( Larangan ).
Ayam Hutan dan Burung boleh di Sumpit jika di perlukan, tetapi berhati-hati untuk melihat mana jantan dan mana betina, karena tidak boleh membunuh betina yang sedang bertelur, Ayam Hutan dan Burung dagingnya boleh di makan dan bulunya menjadi kebanggaan, namun hanya satu bulan sekali di perkenankan memburu untuk satu ekor.
Apabila burung-burung belum berkembang biak, sekali-kali tidak boleh mengambilnya karena akan membawa penderitaan dalam hidup.
Burung Kerak, Kutilang, Ciung dan Beo boleh di pelihara jika tahu cara pemeliharaannya, apabila belum mengetahui ilmu dan tata caranya janganlah mencoba memlihara karena akan  bersedih hati.
Trenggiling boleh di ambil dan di sembelih untuk obat semata, tetapi bukan untuk di jual belikan. Jika ini di langgar berarti telah berkhianat kepada Ajen Galunggung. Inilah yang sempat di catat Para Ing Paya.
Pohon-pohon Adam yang telah ada sejak lama harus di jaga dan di lestarikan keberadaannya, tidak boleh punah anak-anaknya dan tidak boleh hilang karena kejahilan tangan, sebahagian pohon tersebut di namakan Derwak, Bintinu, Mara, Loa, Nangsi, Bungur, Caringin ( Beringin), Juar, Binong, Gayam, Baros, Laban, Cangcaratan, Ki Bangkong, Kondang, Angsret, Sempur, Harendong, Ki Angsana dan Kajujaran.
Bagi pohon-pohon pendatang tidak di ijinkan hadir di Hutan Kabuyutan ( Larangan ), mereka hanya di perbolehkan berada pada Hutan Raja ( Tutupan ) dengan tidak menguasai dan mendominasi pohon-pohon asli setempat.
Untuk pinggiran Sungai sebaiknya di tanami Dadap Cangkring, Angsret, Mara Gonggong, Menteng dan Bencoy, Kondang dan Beunying, Buteng dan Ki Teja. Sedangkan di pinggir jalan sebaiknya di tanami oleh Pohon Bungur dan Gayam, Asem dan Juar, Ki Angsana dan Kajujaran dilengkapi Pohon Jambe ( pohon Pinang ) dan Maja Kane.
Di setiap Lamping ( Lembah Mala ) yang kosong tanpa pepohonan harus di tanami pohon Derwak dan Pe’er, Sempur dan pohon buah-buahan terutama yang rasanya asam, inilah yang sempat di tulis oleh para Ing Paya.
Ajen-ajen tersebut telah terbukti mampu memberi pencerahan terhadap pemikiran masyarakat, baik Spiritual, Moral dan sosial khususnya bagi masyarakat Jampang Manggung sehingga gemah ripah repeh rapih, damai sejahtera dan sentosa dapat di rasakan secara bersama.
Si Raja Hutan hidup tenang di rimbun Belantara tanpa mengganggu dan tidak pula di ganggu, Burung-burung bersiul melagukan harapan dan senyuman masa depan dengan menikmati rindangnya pepohonan dan pemandangan. Monyet, Surili, Lutung, Oa, Beruk, hampir setiap pagi saling memanggil antara satu dengan yang lainnya, loncat-loncatan dari dahan ke dahan lain, dari pohon satu ke pohon kedua dari pohon dua ke pohon ketiga menggambarkan tentang lapangan kehidupan mereka yang menyenangkan.
Para petani menggarap lahan pada tempatnya tanpa melakukan aniaya dan binasa terhadap Hutan, sehingga anak istri dan keluarga, bahkan keturunannya dapat menikmati kesejahteraan dengan tidak mengidap penyakit rakus dan serakah, hidup mereka dengan tenang, sejuta harapan berada pada cinta Alam dan ridlo Tuhan, Adam da Hawa serta Syits tersenyum dari kalanggengan.
Pedagang dan pembeli saling memberi keuntungan, tanpa tipu-menipu dan memalsu, apabila rugi sehari atau setahun tidak usah sakit hati karena esok akan kembali untuk mengganti yang rugi karena Alam pun akan memberi, sehingga keluarga tenteram dan damai dalam pikiran, maju untuk sejahtera, sejahtera untuk kemajuan, Adam dan Hawa serta Syits tersenyum dari Alam kalanggengan.
Para Ing Paya berbakti dengan suka hati, ilmu dan pikirannya di sumbangkan untuk menerangi jalan kehidupan, dengan lurus dan tulus tanpa hitung untung dan rugi materi, karena hatinya yakin Tuhan lah Maha Pemberi, Adam dan Hawa serta Syits tersenyum dari Alam Kalanggengan.
Para pekerja penuh riang gembira walau kadang menderita tapi hanya sementara, karena jaga akan sejahtera terasa oleh keluarga. Para Tuan dan Majikan memiliki sipat kebapaan, gembira jika memberi, membayar hak para pekerja tanpa ragu tanpa bimbang sehingga berpengaruh untuk keluarga, merasa nyaman dan sayang bersama suami yang budiman dan baik hati. Adam dan Hawa serta Syits tersenyum dari Alam Kalanggengan.
Sang Raja memimpin Negri dengan rasa tanggung jawab sepenuh hati, perhatiannya di pusatkan dan di tujukan bagi kepentingan Bangsa dan Negara, tindakannya sangat bijaksana, keberaniannya di puncak tertinggi, Ajen yang menjadi tali pengikat kehidupan dan tindakannya, sehingga seluruh warga masyarakat tersadarkan untuk mengikuti apa yang di ucapkan oleh Panutan Sang raja Kujang Pilawa, hidupnya pun sering bersemedi untuk memohon pertolongan dari Sang Hyang Widi, agar keadilan, kasih dan sayang, tegas, lugas dan memaafkan menjadi napas kehidupan sehari-hari. Adam dan Hawa serta Syits tersenyum dari Alam Kalanggengan.
Kujang Pilawa menjadi raja selama Empat Puluh Tahun, telah banyak memberi kontribusi terhadap Bangsa dan Negara Kerajaan Jampang Manggung, kemudian beliau mengundurkan diri setelah merasakan bahwa usianya telah senja, lalu sebelum meninggal Ia pun sempat menjadi Ing Payagung.
Untuk menggantikan Tahta Kerajaan Jampang Manggung Kujang Pilawa menunjuk Putra Laki-lakinya yang paling besar bernama Danu Sangkalang.
Kujang Pilawa di karuniai sebelas orang Anak, Dua diantaranya Laki-laki yaitu Danu Sangkalang dan Sanjar Janggala yang kemudian menjadi Patih kepercayaan Danu Sangkalang.
Selama masa menjabat menjadi Raja, Kujang Pilawa selalu menyelipkan senjata tosa di pinggang sebelah kiri, kemana pun Ia pergi, sehingga senjata Tosa tersebut berganti sebutan dengan sendirinya yaitu senjata Kujang karena terbawa oleh pemakainya ya’ni Kujang Pilawa. Berawal dari situlah senjata yang tadinya di sebut Tosa berubah nama menjadi Kujang, hal ini berlaku pula pada jaman Pajajaran dan menjadi ciri khas senjata Sunda ( senjata Kujang ) sampai sekarang.

Danu Sangkalang, Putra Harapan
Setelah Danu Sangkalang dilantik menjadi Raja, maka ia mengangkat adik kandungnya Sanjar Janggala menjadi Patih kepercayaan dalam menjalankan roda Pemerintahan Kerajaan Jampang Manggung.
Di dalam mengambil setiap kebijakan dan melaksanakan program Pemerintahan, Danu Sangkalang mengikuti jejak ayahnya, ia sangat menjaga dan memelihara setiap keberhasilan yang telah diraih pendahulunya itu, kemudian ia diamanati oleh ayahnya untuk meluruskan kebijakan yang dianggap kurang tepat, melengkapi kekurangan yang ada serta mengadakan perbaikan. Dengan demikian Danu Sangkalang mengemban tugas yang tidak ringan untuk dipikul sendirian, sehingga perlu adanya penasihat yang mapan dan mampu menjawab persoalan yang dihadapi, akhirnya ia mengangkat Ing Payagung yang bernama Aki Seuseupan sebagai Penasihat pribadinya.
Pada masa Danu Sangkalang, gerakan moralitas bangsa terasa sangat menonjol, apalagi ketika Danu Sangkalang melihat kenyataan yang ada di masyarakat, masih ada prilaku negatif yang mempengaruhi cara hidup manusia. Mengingat akan segala nasihat ayahnya untuk terus maju dan mengadakan perbaikan, akhirnya ia berhasil menghapus beberapa jenis kebiasaan buruk yang masih berlaku pada saat itu. Antara lain : kebiasaan buruk pertama yang disebut Ngayang, Apabila ada seorang ibu yang melahirkan bayi kembaran yang berjenis kelamin berlainan (laki-laki dan perempuan), maka bayi yang berjenis kelamin laki-laki harus dipisahkan setelah satu minggu disusui ibu kandungnya, bayi laki-laki itu boleh dititipkan kepada siapapun tapi tidak boleh diasuh ibu kandungnya (jika seorang ibu tidak rela untuk melepaskannya, maka anggota keluarga yang lainnya akan mengambil paksa dengan cara apapun), kemudian apabila bayi kembar tersebut telah sama-sama dewasa, mereka akan dipertemukan, lalu dikawinkan baik suka maupun tidak, seandainya salah satu diantara mereka ada yang meninggal dunia, maka yang hidup dilarang menikah dengan siapapun selamanya, jika ia melanggar, akan kehilangan semua yang harus menjadi haknya kecuali seperangkat pakaian yang melekat pada tubuhnya.
Tradisi yang telah melekat pada masyarakat Jampang Manggung ini, dapat dihapus dengan cepat dan tepat oleh Danu Sangkalang dan diterima oleh semua pihak, sehingga setiap ibu yang sedang hamil tidak lagi merasa hawatir apabila kelak yang lahir adalah bayi kembar yang berlainan jenis, tidak saja sampai disitu peraturan yang dipakai oleh Danu Sangkalang bagi seluruh rakyatnya, bahkan ada larangan tegas untuk menikahkan diantara saudara kembar yang berlainan jenis tersebut, karena hal ini sangat bertentangan dengan ajen yang diajarkan para Ing Paya.
Contoh kedua disebut Bawil : Jika seseorang atau sebuah keluarga bahkan suatu kampung mempunyai dendam terhadap pribadi seseorang, keluarga, atau kampung yang lain, mereka akan mencari hewan kambing yang berwarna hitam atau kerbau yang bertanduk dongkol (tanduk ke bawah) untuk dijadikan media upacara sesaji, caranyapun sangat keji, pertama-tama, kambing atau kerbau itu disiksa sedemikian rupa tanpa ada rasa sayang dan kasihan sehingga roboh, setelah itu baru dialirkan darah lehernya untuk diminum oleh orang yang mempunyai dendam tersebut, baru kemudian dagingnya dimakan bersama sambil tertawa tebahak-bahak agar kekuatan roh dapat membantu melaksanakan tujuannya, setelah selesai upacara itu, dua atau tiga orang diantara mereka yang akan mencari dan membunuh orang yang dianggap musuhnya tersebut memakan jantung dan hatinya mentah-mentah sekenyang-kenyangnya sampai muntah, kemudian mereka pergi menemui musuhnya, jikalau mereka berhasil membunuhnya, kemudian dadanya dibelah lalu diambil hati dan jantungnya untuk dimakan atau hanya sekedar dikunyah dan sebahagian disemburkan kearah mukanya, lalu diambil kepalanya dan disimpan dipinggir rumah atau di dapur sampai menjadi tengkorak dan dibiarkan keberadaannya sampai tujuh turunan. Tradisi upacara ini disebut Bawil.
Kebiasaan inipun dengan cepat dan tepat langsung dihapus oleh Danu Sangkalang, bahkan ia berpendapat justru tradisi ini bukan warisan dari Adam dan Hawa serta Syits, bukan pula ketentuan ajen yang diwariskan oleh Sang Mulia Sakti, melainkan hanya kebiasaan Dasa muka dari Astina (Rahwana), serta warisan Ajus Marjus (kemungkinan yang dimaksud dengan Ajus Marjus adalah Ya’juj Wa Ma’juj dalam Al-Qur’an atau Gog Ma Gog di dalam Bibel). Seketika itu pula tradisi ini terkubur seiring dengan kebijakan Danu Sangkalang yang cemerlang.
Contoh ketiga Tradisi Ciling : Jika seorang pejabat baik tingkat tinggi atau rendah bahkan Raja sekalipun yang dikaruniai seorang bayi cacat salah satu anggota tubuhnya, maka istrinya harus dibuang atau diasingkan ke hutan bersama bayi tersebut, karena akan membawa pengaruh sial terhadap bangsa dan Negara.
Tradisi ini juga langsung dihapus oleh Danu Sangkalang dengan berani dan lantang ia berkata : Ini sangat bertentangan dengan ajen yang berlaku di bumi pertiwi yang telah diwariskan oleh Sang Mulia Sakti dari Ayah Adam dan Ambu Hawa juga dari Aki Syits, kebiasaan buruk ini hanyalah datang dari Jarian Moyan.
Dengan demikian tidak perlu lagi hawatir akan nasib keluarganya seandainya salah seorang Pejabat dikaruniai keturunan yang ditakdirkan ada cacat diantara salah satu anggota tubuhnya. Kebiasaan buruk tersebut di atas disebut Ciling.
Danu Sangkalang menduduki tahta kerajaan selama 52 tahun. Kemudian setelah beliau ditinggal adik kesayangannya yang menjadi Patih kepercayaan, beliau sering menderita sakit panas dan demam.
Pada saat menjelang ajalnya, Danu Sangkalang memanggil putranya yang tunggal bernama Pita Kumana Jaya, lalu beliau menunjuknya untuk menggantikan tahta kepemimpinan di Kerajaan Jampang Manggung.

Pita Kumana Jaya dan Jampang
Pada masa Pita Kumana Jaya menjadi Raja Jampang Manggung, Ing Payagung Aki Seuseupan berpamitan kepada Sang Raja untuk kembali ke kampung halamannya bersama keluarga, mengingat tugas di dalam keluarga istana sudah dianggap selesai. Dengan berat hati Pita Kumana Jaya melepas kepergiannya dan diberikan pula bermacam-macam hadiah sebagai tanda terima kasih yang tiada terhingga, yaitu beberapa keping Mas dan Perak serta Perunggu ditambah dua ekor Kuda dan tujuh ekor Kerbau lengkap dengan dua orang pengembalanya.
Di dalam menjalankan setiap program dan peraturan kerajaan, Pita Kumana Jaya selalu mengikuti petunjuk ayahnya, ia pun sangat menjaga dan memelihara keberhasilan yang telah diraih ayahandanya.
Para Patih yang membantu beliau masing-masing bernama : Kutamadunya, Suryalaga, Bomanlarang, Sokoganggalang, dan Rangijid. Pita Kumana Jaya menikah dengan seorang putri dari Gunung Cereme ( Gunung Ciremai di wilayah Cirebon sekarang) ia bernama Putri Salangkang Pati.
Pada masa itulah Jampang Manggung mengalami puncak kejayaannya terutama dalam kesejahteraan, pengobatan, dan kesehatan, sehingga mampu menjalin persahabatan dengan negeri lain baik yang langsung berbatasan dengan Jampang Manggung maupun yang jauh di seberang sana.
Banyak utusan Negara atau yang datang atas inisiatif dirinya sendiri yang datang ke Jampang Manggung untuk belajar, study banding, dan penelitian mengenai pengobatan yang dikembangkan para Ing Paya di Pasangrahan, terutama dari negeri Cina, Campa, dan Gangga serta Banggala.
Namun sayang seribu sayang pada saat menginjak usia 39 tahun Pita Kumana Jaya menderita penyakit yang cukup parah, sehingga berdampak kepada kondisi Kerajaan dan rakyat Jampang Manggung, karena yang menjalankan roda pemerintahan semenjak Pita Kumana Jaya dalam keadaan sakit dipegang oleh lima Patih yang kurang kompak dan tidak sejalan. Adapun Patih yang benar-benar setia dan jujur terhadap Raja dan Kerajaan serta jauh dari penghianatan dan kebiadaban adalah Kutamadunya, Suryalaga, dan Bomanlarang. Sedangkan Sokoganggalang dan Rangijid adalah dua orang yang memiliki kepribadian yang buruk, baik dalam perkataan, maupun perbuatan. Mereka berdua sering melontarkan pitnah tanpa merasa berdosa dan menakut-nakuti warga yang tidak simpati kepadanya atau bahkan bertindak sewenang-wenang menurut keinginannya tanpa melihat ajen-ajen yang berlaku.
Mulai saat itu situasi dan kondisi di Jampang Manggung mulai resah dan meresahkan, keamanan dan ketertiban mulai terganggu, apa lagi pada saat Pita Kumana Jaya meninggal dunia.
Pita Kumana Jaya meninggalkan seorang istri yang bernama Putri Salangkang Pati dan dua orang anak masing-masing bernama Laganastasoma dan Putri Sangwangi.
Pada waktu Patih Kutamadunya, Suryalaga, dan Bomanlarang sibuk mengurusi jenajah dengan menyediakan segala pasilitas kebutuhannya, begitu juga membantu menenangkan keadaan didalam Keraton, bagi Sokoganggalang dan Rangijid justru mereka berdua sibuk menggalang kekuatan dan menebar propokasi terhadap warga masyarakat agar mau menjadi pendukung dan pengikutnya dengan cara diberikan iming-iming kedudukan harta dan kesenangan, Soko Ganggalang dan Rangijid semakin kelihatan ambisinya untuk menduduki tahta Kerajaan sekalipun dengan cara yang tidak sah bahkan menghalalkan segala macam cara.
Di luar Keraton warga semakin gelisah, ada yang pro dan ada pula yang kontra, bagi mereka yang kontra terhadap ambisi Soko Ganggalang dan Rangijid, mulai memperlihatkan keberaniannya dengan cara melawan melalui protes ucapan, tetapi tidak sedikit protes mereka berakhir di penjara atau di siksa bahkan sebahagian ada yang di bunuh, kekacauan ini semakin meluas sampai ke pelosok-pelosok desa kecuali Keraton dan sekitarnya dapat di amankan dan di kendalikan oleh Kutamadunya, Suryalaga dan Bomanlarang.
Untuk menghindari lebih banyak korban di antara warga, secara sembunyi-sembunyi tiga Patih yang setia terhadap Pita Kumana Jaya dan Kerajaan Jampang Manggung, mengirim surat dan di tanda tangani oleh Putri Salangkang Pati dan Tiga Patih tersebut, yang isinya kurang lebih : Di karenakan situasi dan kondisi Jampang Manggung sudah di kendalikan oleh Soko Ganggalang dan Rangijid sedangkan kami hanya dapat mengamankan Istana dan keluarganya, maka dengan ini di persilahkan kepada warga yang mau meninggalkan Jampang Manggung untuk pergi ke arah selatan menuju Negri Agra untuk mencari kehidupan yang aman sejahtera sebagaimana yang kita harapkan dan seperti Jampang Manggung semula.
Setelah mereka membaca dan memahami surat yang datang dari Keraton Jampang Manggung, tidak kurang dari 100 kepala keluarga langsung pergi meninggalkan Jampang Manggung menuju ke Negri Agra pada hari pertama, kemudian hari ke dua ada 60 kepala keluarga mengikuti kepergian tersebut.
Sesampainya di Negri Agra, mereka di sambut oleh para pejabat dan warga di sana, karena merekapun sudah tahu keadaan keamanan di Jampang Manggung pada saat ini, lalu mereka di tempatkan di berbagai lahan agar nantinya ikut menggarap lahan tersebut bagi kepentingan kehidupan bersama. Mereka pun menempati tempat yang berbeda, ada yang dipinggir Sungai, ada yang berdekatan dengan pantai Laut selatan, ada yang menempati lokasi paling barat ( Kulon ), tengah dan timur.  
Sebelum kehadiran warga yang datang dari Jampang Manggung di Negri selatan Agra, belum ada suatu tempat yang disebut Jampang, tetapi setelah warga Jampang Manggung menetap bahkan mendominasi dalam penggarapan lahan dan pertanian sebutan warga Jampang terdengar setiap saat karena mereka adalah orang Jampang Manggung, berawal dari situlah sebutan Jampang menjadi kental dan milik orang selatan ( Cianjur selatan, Sukabumi ) bahkan tidak lagi disebut Jampang Manggung, tetapi cukup dengan sebutan Jampang, lalu berkembang seiring dengan semakin banyaknya penduduk yang menempati wilayah Barat, tengah dan timur sehingga ada yang disebut Jampang Kulon, Jampang Tengah dan Jampang Wetan.  

    Putri Salangkang Pati beserta kedua Anaknya pergi meninggalkan Keraton
Sebelum Soko Ganggalang dan Rangijid datang ke Keraton dengan membawa pasukannya untuk mengacau-balaukan suasana dan merebut tahta Kerajaan, maka Putri Salangkang Pati sudah terlebih dahulu diberitahu oleh orang-orang yang setia kepada Pita Kumana Jaya, dengan di antar dan diamankan oleh Tiga Patih, Kutamadunya, Suryalaga dan Bomanlarang, Ia berpamitan kepada Ibu mertuanya yaitu Putri Kancing Sarati untuk memohon do’a restunya, malam itu juga mereka pergi kearah selatan dengan berjalan kaki menuju Rumah Ing Payagung Aki Seuseupan yang dahulu menjadi penasehat di Kerajaan Jampang Manggung semasa Danu Sangkalang ( mertua Putri Salangkang Pati ).
Aki seuseupan memahami dan mengerti keadaan yang terjadi di Jampang Manggung pada saat ini, sehingga beliau menyarankan agar tidak sering keluar rumah khawatir banyaknya mata-mata Soko Ganggalang dan Rangijid.
Setelah Tiga Belas tahun Putri Salangkang Pati tinggal bersama keluarga Aki Seuseupan, Ia melihat dua anaknya yang kini telah beranjak dewasa, yang pertama Laganastasoma kini sudah berusia 22 tahun sedangkan adiknya Putri Sang Wangi telah berusia 15 tahun padahal ketika baru datang di rumah Aki Seuseupan usia Laganastasoma baru menginjak sembilan tahun sedangkan putri Sang wangi baru berusia dua tahun.
Sekarang saatnya Putri Salangkang Pati merasa perlu diskusi untuk rencana berikutnya.
Setelah mengadakan diskusi bersama dua anaknya, ke esokan harinya mereka menghadap kepada Ing Payagung Aki Seuseupan untuk mengucapkan terima kasih atas segala kebaikannya dan kebaikan keluarganya, juga permohonan maaf dan sekaligus berpamitan, sekalipun dengan berat hati akhirnya Aki Seuseupan dan keluarganya melepas kepergian mereka dengan do’a dan restunya.
Selama di perjalanan mereka bertiga selalu berbincang-bincang, akan kemanakah mereka melangkah dan siapa pula yang akan di tuju, sebab kembali ke Jampang Manggung apalagi ke Keraton, sesuatu yang tidak memungkinkan mengingat kondisi pada saat itu, akhirnya mereka mampir di suatu gubuk yang berada di pinggir jalan.
Sambil beristirahat disana, Laganastasoma bertanya kepada pengembala Kerbau siapakah gerangan pemilik gubuk tersebut, pemiliknya ternyata seorang Jema (saudagar kaya raya yang dermawan).
Kehadiran tiga tamu yang berada di gubuk tersebut sampai ke telinga Jema, kemudian pada malam harinya, Jema dengan ditemani beberapa anak buahnya datang dengan membawa makanan untuk menjamu tamunya.
Ketika mereka bertemu, terjadi silaturrahmi yang akrab dan mengikat batin persaudaraan, bahkan sewaktu Laganastasoma dan ibunya meminta izin untuk menginap, Jema mempersilahkannya dengan senang hati, bila perlu dan mau boleh tinggal selama-lamanya, dan akan disediakan perbekalan secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari, kemungkinan bagi Jema hal ini biasa dilakukan terhadap siapapun yang membutuhkan pertolongan, apalagi tiga tamu ini bagi Jema merupakan anugrah Tuhan yang tiada tara, karena dalam hati Jema ada suatu kecurigaan bahwa tiga tamu tersebut adalah keluarga mendiang Raja Pita Kumana Jaya yang menghilang entah kemana selama 13 tahun. Mendengar tawaran itu, Putri Salangkang Pati dan kedua anaknya sungguh merasa senang, karena selama ini mereka merasa bingung harus kemana pergi, belum jelas tempat yang akan dituju.
Pada waktu bangun tidur, Laganastasoma menyampaikan apa yang dialami dalam mimpinya kepada ibu dan adik kandungnya, yakni ia kedatangan ayahandanya Pita Kumana Jaya dan menasehati agar tidak melanjutkan perjalananya, melainkan harus tinggal di gubuk ini, sebab gubuk ini akan menjadi cikal bakal pasanggrahan besar yang sangat terkenal dan membawa harum tempat dan wilayahnya, dan disampaikan pula bahwa pemilik gubuk ini seorang Jema keturunan negri para Sunda yang ada kaitan dengan nenek moyang mereka Kujang Pilawa, ia seorang Jema yang baik hati dan memahami tentang ajen, setelah mendengar pengalaman Laganastasoma di dalam mimpinya, Putri Salangkang Pati dan ke dua anaknya langsung memutuskan akan tinggal disana dalam waktu yang tidak terbatas.
Kedekatan keluarga Laganastasoma dengan keluarga jema, semakin memperkuat dugaan dari sebagian besar masyarakat dan keluarga Jema sendiri, bahwa tiga orang yang menempati gubuk tersebut adalah keluarga Keraton Jampang Manggung yang sekarang telah menjadi Ing Paya, karena mereka menilai ucapan dan tindakannya benar-benar menjadi teladan dan contoh yang meluruskan prilaku warga.
Maka Jema memulai membangun Pasanggrahan yang cukup besar dengan bantuan tenaga masyarakat sekitarnya sampai dengan selesai, dari situlah dimulai adanya kegiatan untuk mengajarkan ajen oleh Ing Paya Laganastasoma kepada murid-muridnya dan masyarakat sekitar.
Pasanggrahan pun semakin hari semakin ramai oleh orang-orang yang berkunjung atau yang meminta pertolongan mengenai penyakit. Sebagai seorang Ing Paya yang diwarisi Ilmu dari Ing Payagung Aki Seuseupan, Laganastasoma tampil sebagai seorang yang sangat pandai mengajar Ajen Galuh, Ajen Pananggelan dan Ajen Galunggung, selain itu pandai pula mengobati berbagai macam penyakit berdasarkan Ilmu yang diterima dari Aki Seuseupan.
Pasanggrahan yang diasuh oleh Ing Paya Laganastasoma akhirnya terkenal dengan nama Pasanggrahan Pananggelan, mungkin karena terbawa oleh sebutan salah satu Ajen yakni Ajen Pananggelan, bahkan Gunung yang berada di belakang Pasanggrahannya pun disebut Gunung Pananggelan atau Gunung Pananggel, karena kemungkinan dialek dari lidah manusia yang berkembang secara tidak terasa sebutan Pananggel menjadi Mananggel dan sebutan inilah yang paling populer untuk Gunung tersebut dan Pasanggrahannya pun akhirnya disebut pula Pasanggrahan Mananggel.
Dalam usia 25 tahun Ing Paya Laganastasoma menikah dengan Putri Candra Wulan dari Gunung Padang, dan dikarunia dua orang putri dan satu putra masing-masing bernama Jamalillah, Sakalillah, dan Indalana (Jamali Wetan).

Ing Payagung Laganastasoma diundang oleh Raja Soko Ganggalang
Keberadaan dan kemajuan Pasanggrahan Mananggel dengan Ing Payagungnya sampai ke telinga Soko Ganggalang, sehingga dalam keadaan sakit keras ia mengutus beberapa utusan untuk menjemput Ing Payagung agar dapat membantu mengobati penyakit yang dideritanya, tetapi permintaan ini membuat hati ibu Laganastasoma tidak percaya, ia hawatir semua itu hanya merupakan jebakan dari akal bulus Soko Ganggalang, dengan demikian Laganastasoma pun tidak langsung menyanggupinya dengan alasan kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan, lalu ia meminta waktu selama tiga hari, dalam waktu tiga hari Ing Payagung Laganastasoma selalu meminta petunjuk dan perlingdungan dari Sang Hiang Widi. Sampai akhirnya kepada kesimpulan bahwa keberangkatannya ke Jampang Manggung tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, serta Soko Ganggalang benar-benar dalam keadaan buta hati dan buta fikirnya, Ia tidak tahu sama sekali bahwa Ing Payagung yang diundang itu adalah Putra Mahkota yang lebih berhak menduduki jabatan Kerajaan, tidak sedikit pun terpikir oleh Laganastasoma untuk merebut kembali haknya sebagai Raja, Ia lebih memilih menjadi Ing Paya.
Setelah berhasil mengobati Soko Ganggalang Ia pun kembali ke Pasanggrahan Mananggel dengan membawa beberapa hadiah dari Kerajaan antara lain sepuluh ekor Kerbau, sepuluh ekor Sapi dan tiga puluh ekor Kambing ditambah dengan sepuluh keping emas, kemudian sebagian besar menjadi modal usaha bagi masyarakat di sekitar Pasanggrahan Mananggel.
Satu tahun kemudian Ing Payagung Laganastasoma mendapat undangan kembali ke Keraton Jampang Manggung dalam rangka membantu memulihkan keamanan melalui pendekatan spiritual dan sosial, karena pamor dan wibawa Kerajaan Jampang Manggung semenjak dipimpin oleh Sokoganggalang bukannya semakin naik, bahkan terus melorot, apalagi ketika putra Sokoganggalang yang bernama Tarunggdawaling menjadi salah satu pemimpin dari sebuah kelompok/organisasi kepemudaan, sering sekali terjadi perampokan, perkosaan, dan tindakan-tindakan tercela lainnya, Hal ini baru disadari oleh Sokoganggalang, walau bagaimanapun kehebatan politik dari seorang pemimpin tanpa disertai ajen yang membangun jiwa spiritual dan budi pekerti yang luhur dapat menyebabkan kehancuran dari dalam dan dari luar, Apalagi ia mengingat dengan cara apa ia sampai duduk di Tahta Kerajaan Jampang Manggung, dan bagaimana pula pamor Jampang Manggung yang begitu wangi ketika dipimpin oleh Pitakumana Jaya dan para leluhurnya.
Pada hari-hari berikutnya Sokoganggalang sering murung seperti diselimuti oleh kesedihan dan kebingungan, apalagi setelah mengetahui putranya Tarungdawaling memiliki kebiasaan buruk yang semakin menjadi-jadi, tanpa seorangpun yang bisa melarang sekalipun telah banyak diketahui oleh para pejabat dan warga masyarakat.
Akhirnya Sokoganggalang memanggil para Ing Paya yang sebelumnya tidak pernah diperhatikan, bahkan banyak yang disingkirkan perannya di Kerajaan dan di masyarakat, Setelah mendengar masukan dari para Ing Paya, maka Sokoganggalang sepakat untuk memanggil Ing Payagung Laganastasoma bersama muridnya untuk ikut memberikan wejangan ajen dan kembali seperti sediakala.
Sesampainya di Keraton Laganastasoma langsung berdialog dengan Sokoganggalang dan para pejabat lainnya, dan menyampaikan bahwa : dalam keadaan seperti ini tidak cukup dengan wejangan saja bila ingin Negara aman, tetapi harus menangkap para perusuh yang selalu mengacaukan ketertiban dan keamanan, kata-kata ini diajukan sebagai syarat pertama dari Laganastasoma untuk ikut andil memberikan atikan dalam hari-hari berikutnya, mendengar pengajuan ini Sokoganggalang merasa kebingungan karena bagi dirinya ada dilema, menyanggupi atau menolaknya, jika ia menyanggupi, maka ia merasa akan mendapat malu besar, sebab sumber kerusuhan itu adalah putranya sendiri, namun Negara akan aman dan pamor Jampang Manggung akan naik kembali. Hal ini keuntungan yang luar biasa, jikalau ia menolaknya hanya untuk menutupi prilaku anaknya, maka Krajaan Jampang Manggung sebentar lagi akan kiamat, akhirnya Ia menerima pengajuan Laganastasoma.
Dalam rangka mengejar para perusuh, Laganastasoma memimpin murid-muridnya bersama para petugas lain ke tempat-tempat persembunyian sehingga mereka tertangkap dan sebahagian lagi menyerahkan diri, sedangkan Tarungdawaling melawan habis-habisan terhadap Laganastasoma, sehingga Tarungdawaling mengalami luka yang sangat parah dan langsung dibawa ke Keraton untuk dilaporkan kepada Sokoganggalang.
Hanya satu bulan lamanya Laganastasoma berada di Kraton Jampang Manggung, setelah itu Ia kembali ke Mananggel dengan diberi gelar kehormatan oleh para Ing Paya yang  diresmikan oleh Kerajaan Jampang Manggung yakni : Ing Payagung/Ing Paya Tapak, artinya seorang guru ajen yang sangat dalam Ilmu pengetahuannya dan luas wawasan berfikirnya.

Putri Candra Wulan dari Gunung Padang istri Laganastasoma
Di dalam Pernikahan Laganastasoma dengan Putri Candra Wulan dari Gunung Padang dikaruniai tiga orang anak, dua putri dan satu putra, masing-masing bernama Jamalillah, Sakalillah dan Indalana, namun dengan tidak disangka-sangka Putri Candra Wulan meninggal dunia dalam usia muda, hal ini membuat hati Laganastasoma sangat terpukul dan bersedih. Oleh karena itu Ia sering bersemedi untuk selalu berserah kepada keputusan Tuhan yang sangat menyayangi semua makhluknya.
Untuk menghormati Putri Candra Wulan, maka jenazahnya dikebumikan (dikuburkan) di puncak Gunung Mananggel sebagaimana tradisi leluhurnya jika ada seseorang yang meninggal dunia dari kalangan terhormat dan para ningrat, maka akan menempatkan jenazah tersebut di puncak Gunung atau Lemah Duhur ( Tanah tinggi ).

Laganastasoma menikah dengan Dewi Niskalawati
Setahun sudah Ing Paya Tapak ditinggal Istri tercintanya Putri Candra Wulan, namun Ia tetap masih belum berencana untuk beristri lagi, sehingga ibunya, Putri Salangkang Pati memberikan saran dan nasihat agar menikah lagi dengan seorang wanita yang menyayanginya dan menyayangi anak-anaknya.
Atas dasar saran dari ibunya dan pertimbangan dari pemikirannya, akhirnya Ia menyampaikan maksudnya tersebut kepada Jema yang sudah di anggap orang tuanya sendiri, setelah mendengar dan memahami apa yang di sampaikan oleh Ing Paya Tapak Laganastasoma, keesokan harinya Jema berangkat dengan membawa Laganastasoma ke Purwa untuk anjang sana dan melamar Dewi Niskalawati yang masih ada kaitan saudara dengan Jema, tidak lama kemudian upacara pernikahan dengan Dewi Niskalawati pun berlangsung secara sederhana, tetapi dari pernikahannya ini tidak satu pun di karuniai keturunan.

Laganastasoma menikah dengan Manik Kancala
Walaupun sudah berlangsung lama Ing Paya Tapak berumah tangga bersama Dewi Niskalawati, tetapi belum satu pun keturunan yang di perolehnya, sehingga Dewi Niskalawati merasa ada yang masih kurang, sekalipun ada putra-putri yang dapat Ia asuh dari Putri Candra Wulan, namun hatinya membutuhkan sesuatu.
Entah apa yang melatarbelakangi pemikiran Niskalawati, sehingga Ia berani menyuruh Ing Paya Tapak untuk beristri lagi dengan seorang gadis yatim piatu yang berada di Purwa, Ia bernama Manik Kancala, setelah perkawinan dengan Manik Kancala, bernasib sama dengan Niskalawati dari keduanya tidak melahirkan satupun keturunan.
Menikah dengan Tin Lumiang ( Lumiang Tin ) dari negeri Cina
Ilmu pengobatan yang berkembang di Tanah Sunda dengan menggunakan : Akar, kulit, dan daun pepohonan serta media air sungai untuk mandi atau air bersih yang keluar dari serapan sangat terkenal ke berbagai Negara termasuk Cina, sehingga pada suatu ketika di Negeri Cina ada acara Barongkok (seminar) tentang ilmu kesehatan dan pengobatan, kemudian Cina  mengundang Kerajaan-kerajaan lain untuk mengirimkan wakilnya termasuk dari Jampang Manggung bahkan ketika itu Ing Paya Laganastasoma menjadi salah satu Litagung (narasumber).
Dalam acara tersebut Laganastasoma mendapat perhatian dari berbagai utusan Negri, antara lain dari seorang Tabib wanita bernama Lumiang Tin ( Tin Lumiang ), bahkan Ia ikut ke Pasanggrahan Mananggel bersama rombongan dari berbagai Kerajaan dari tatar Sunda seperti Malabar, Sundapura, Purwakarta dan Taruma Nagara dengan sebutan Sunda Jaya Dwipa, kemudian Ia belajar dan membandingkan pengobatan yang ada di Negri Cina dengan pengobatan di tatar Sunda kepada Ing Payagung Laganastasoma.
Pada akhir kemudian Lumiang Tin ( Tin Lumiang ) menikah dengan Laganastasoma, setelah terlebih dahulu pulang ke Negrinya untuk meminta ijin dan berpamitan kepada keluarganya karena akan tinggal bersama Ing Payagung Laganastasoma di Mananggel.
Dari pernikahan Laganastasoma dengan Lumiang Tin ( Tin Lumiang ) dikaruniai dua orang Anak seorang putra dan seorang Putri, masing-masing bernama Indra Prakarsa dan Inji Sari.

Gunung Geulis dan Sunan Ambu
Putri Salangkang Pati tinggal bersama Putra-putri dan mantunya ( Laganastasoma/Dewi Sang Wangi/Niskalawati/Manik Kancala dan Lumiang Tin ) sudah cukup lama, bahkan sebelumnya bersama mendiang Putri Candra Wulan, maka tibalah saatnya ia harus pindah tempat tinggal. Hal ini disampaikan kepada Laganastasoma. Ia ingin mendekati Gunung sebelah barat, kebetulan disana lebih banyak ditemukan pohon-pohon yang berkhasiat untuk obat, di samping itu ia ingin masa tuanya digunakan untuk lebih rajin bersemedi.
Permintaan Putri Salangkang Pati, langsung mendapat sambutan Putranya Laganastasoma. Ia langsung mendirikan Pasanggrahan baru untuk ibu dan adiknya, Sangwangi. Atas bantuan dari Jema dan murid-muridnya serta halayak masyarakat, dalam waktu yang singkat Pasanggrahanpun selesai dibangun, kemudian dihuni oleh sang ibu dan adiknya.
Kehadiran Putri Salangkang Pati dan Putri Sangwangi menambah manfaat bagi kehidupan seluruh masyarakat yang ada di sekitarnya. Di samping ia seorang Ing Paya wanita yang sering memberikan pertolongan kepada yang membutuhkan, juga semakin memudahkan bagi Laganastasoma untuk menyediakan bahan-bahan untuk obat di Pasanggrahan Mananggel, karena selalu dikirim oleh ibunya dari Pasanggrahan yang baru.
Hampir setiap saat banyak orang yang datang ke Pasanggrahan Putri Salangkang Pati untuk meminta pertolongan dari penyakit yang diderita ataupun hanya sekedar beranjang sana.
Putri Salangkang Pati dan Putri Sangwangi, kedua-duanya merupakan wanita yang sangat rupawan, cantik jelita, dan berbudi pekerti luhur menjauhi sifat-sifat tercela yang dapat menjatuhkan martabatnya, sehingga ia sangat dihormati, disayangi, dan dipiseupuh oleh semua pihak, karena dari penghormatan inilah yang menyebabkan ia dijuluki Sunan Ambu, dan Gunungnya disebut Gunung Geulis sebab, ada dua tokoh wanita yang cantik rupawan dan menjadi wanita terkenal yang banyak memberi manfaat bagi kemanusiaan.

Putri Sangwangi dan Gajah Panambur
Sekalipun sudah usia dewasa, Putri Sangwangi masih belum bersuami, hal ini dimungkinkan pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk menjaga perasaan dari pria yang menginginkannya.
Bagi ibunya, masalah ini menjadi pikiran yang kadang-kadang membingungkan, harus bagaimana mencari penyelesaiannya. Akhirnya disampaikan ke kakaknya Laganastasoma yang ada di Pasanggrahan Mananggel. Bagi Laganastasoma, persoalan keluarga berarti pula persoalan dirinya, dengan penuh tanggung jawab ia pun tidak tinggal diam, bahkan pada hari itu juga ia pergi ke sebuah tempat yang bernama Jajarsingki untuk menemui seorang pemuda yang digelar Gajah Panambur salah satu cucu dari Ing Payagung Aki seuseupan.
Kehadiran Laganastasoma di Jajarsingki membuat Gajah Panambur salah tingkah karena saking gembira dan rasa hormat kepadanya. Namun demikian seketika itu Gajah Panambur dapat mengatasi keadaan serta menyambutnya dengan sungkem dan menjamu seadanya.
Pada hari berikutnya Laganastasoma masih belum menyampaikan maksud yang sesungguhnya, malahan ia ingin mengajak Gajah Panambur tukar Ilmu dan tukar pengalaman. Tentu saja bagi Patih Gajah Panambur sekalipun rasanya berat karena ia tahu siapa Laganastasoma sebenarnya, namun ia pun harus meladeni apa yang dipinta oleh Ing Payagung.
Tujuh hari tujuh malam pertarungan kekuatan ilmu dan kanuragan berlangsung antara Laganastasoma dan Gajah Panambur yang berakhir dengan keunggulan Ing Payagung Laganastasoma.
Bagi Laganastasoma, peristiwa ini sangat mengagumkan karena, melihat Gajah Panambur yang akan menjadi calon suami adiknya, bukanlah orang sembarangan. Kalau saja bukan dirinya yang menghadapi Gajah Panambur, atau ia merasa ujub dan lengah tentu pertarungan akan dimenangkan oleh Gajah Panambur. Beruntung saja Laganastasoma orang yang sakti mandraguna dengan penuh hati-hati dan kecermatan yang dimilikinya mampu menundukan Gajah Panambur.
Sedangkan bagi Gajah Panambur, peristiwa ini merupakan pengalaman baru yang sangat berharaga. Tidak pernah ia dikalahkan oleh para jawara dari manapun sekalipun pertarungan dilakukannya ratusan kali. Gajah Panambur sangat mengakui kehebatan yang dimiliki Laganastasoma.
Setelah mereka berdua cukup istirahat yang dilanjutkan dengan obrolan, maka Laganastasoma baru menyampaikan maksud kedatangannya untuk membawa Gajah Panambur ke Pasanggrahan Gunung Geulis.
Tawaran ini membuat hati Gajah Panambur semakin tidak menentu. Bukan karena tidak mau, justru karena ia merasa malu menjadi bagian dari keluarga orang yang sangat ia hormati. Tetapi akhirnya dengan hati yang tenang dan ucapan yang merendah, ia pun ikut bersama Laganastasoma ke Pasanggrahan Mananggel. Lalu setelah istirahat satu malam, mereka pergi ke Pasanggrahan Gunung Geulis untuk  menemui Sunan Ambu dan Putri Sangwangi. Yang akhirnya pernikahanpun dilaksanakan antara Putri  Sangwangi, dan Patih Gajah Panambur.

Kegiatan Putri Salangkang Pati
Dalam mengisi waktu luangnya Ambu Salangkang Pati, selalu ingat akan tugas kemanusiaannya, ya’ni memberikan pelayanan kesehatan terhadap halayak dengan cara mengumpulkan obat-obat dari tanaman berkhasiat yang sudah tersedia di sekitar Gunung Geulis terutama di Leuweung Datar.
Setelah obat-obat itu dibersihkan, dijemur kemudian dimasukkan kedalam Bodag dan diantar paling lambat sekali dalam satu minggu ke Pasanggrahan Mananggel oleh Gajah Panambur, namun setelah kedatangan Patih Suryalaga, Bomanlarang dan Kutamadunya di Pasanggrahan Gunung Geulis, tugas ini diberikan kepada mereka bertiga, Ambu Salangkang Pati hanya memberi petunjuk dan penjelasan terhadap mereka mengenai tanaman berkhasiat serta cara meracik dan memakainya.
Ada dua puluh tanaman yang khas dipergunakan oleh Ing Payagung Laganastasoma di Pasanggrahan Mananggel, yang sebahagian besar di pasok dari Gunung Geulis yaitu : Jawir Gotok, Garas Tulang, Gatuk, Kuning Kerud, Cangkring, Baceta, Saralatu, Wali Paya, Sira’an, Badutan, Koncian, Jaringao, Lampuyang, Jehe Pait, Luru Abang, Daun Urat, Kawat Wesi, Jangelan, Surupan, Pager Rasa.
Setelah tugas kemanusian Ambu Salangkang Pati merasa terbantu oleh tiga Patih serta Gajah Panambur selaku mantunya, maka Ia pun lebih sering naik ke puncak Gunung Geulis untuk bersemedi disana sampai Ia menemui ajalnya dalam usia 114 tahun.

Sunan Ambu dan Gunung Geulis
Ambu Salangkang Pati dikebumikan di puncak Gunung Geulis sebagaimana tradisi yang turun temurun,  bahwa Gunung merupakan tempat yang sangat layak bagi para pemimpin, tokoh dan orang-orang terhormat lainnya.      
Sebutan Putri Salangkang Pati pun, mulai tidak terdengar lagi, justru yang ada adalah sebutan Sang Ambu atau Sunan Ambu, sebutan inilah yang sangat terkenal di masyarakat Gunung Geulis dan sekitarnya, Mangkubanyu, Putri Largading., adapun nama lainnya : Nyi Mas Galing Muntang Mayang Kembang, Lintang Mayang Sari, Sunan Ambu Mangkubanyu

Ing Payagung Laganastasoma dan Warahnya ( Nasihat-nasihatnya )
Setelah menerima penghargaan baik yang berupa gelar maupun yang bersipat materi, Laganastasoma semakin berat memikul tanggung jawab, karena Ia merasa bahwa apa yang terjadi hari ini salah satunya hasil dari kemarin serta persiapan untuk menghadapi hari esok, maka oleh sebab itu Ia lebih sering bermujasmedi untuk memohon petunjuk jalan hidup agar tidak menyesal di akhir kemudian.
Pasanggrahan di Mananggel semakin hari kian tambah ramai keadaannya, beruntung murid-murid Ing Payagung Laganastasoma sudah banyak yang mengetahui dan menguasai ilmu kesehatan dan pengobatan sehingga dapat meringankan tugas kemanusiaan yang di pikul oleh Ing Payagung.
Ada dua puluh tujuh Warah yang paling terkenal dari Ing Payagung Laganastasoma dengan sebutan Warah Werih weruh :
  1. Hidup bukanlah sebuah pesanan diri kita, manusia makhluk yang menerima pesan, oleh karenanya baktikan napas dan gerakmu, mata dan kupingmu, pikiran dan perasaanmu untuk Sang Hyang Tunggal, pasti jiwa ragamu akan memperoleh kesentosaan dan kemenangan.
  2. Ingatlah kepada Ayah Adam dan Ambu Hawa serta Ayah Syits yang menjadi Pangagung (  Pemimpin ) kemudian cucunya yang cerdik dan pandai yaitu Daris ( Kemungkinan Nabi Idris a.s ) dan cucunya lagi yang kuat dan panjang umur serta sabar mengajak kawan-kawannya untuk berbakti kepada Sang Tunggal melarang nirca dan kuciwa karena akan menimbulkan malapetaka yaitu Pangagung Anung ( kemungkinan besar Nabi Nuh a.s), ingatlah Pangagung Anung banyak ditinggal keluarganya kecuali tiga putranya yang baik hati dan menuruti Pitutur leluhurnya, hormatilah Aki Syamam, Aki Hamam dan Aki Awadi.
  3. Jika menjadi pedagang janganlah tipu menipu, karena akan buruk akibatnya, apabila sering menipu, nanti akan di tipu atau keturunan yang akan di tipu, Gabil pernah menipu Ayah Adam dan darmanya tidak diterima Tuhan.
  4. Jika menjadi petani, perhatikan Bintang Rajadesa yang di amanatkan oleh Kujang Pilawa, garaplah tanah Hanyaran atau tegalan yang di bolehkan untuk di airi atau di bikin Huma, tentu akan membawa kebaikan asalkan ingat Ajen dan pitutur leluhur.
  5. Orang yang memelihara Gunung dan Hutannya serta melestarikan keberadaan yang telah seimbang, pasti hidupnya di pelihara Tuhan dan disayanginya serta akan diberikan pula kejayaan.
  6. Orang yang merusak Gunung dan Hutannya apalagi Hutan kabuyutan dan anak-anak kabuyutan, pasti akan menderita dan tidak akan jaya, jika Ia menjadi orang kaya hidupnya akan banyak menerima malapetaka, begitu juga bagi keluarganya akan banyak di musuhi oleh orang sekitarnya, karena merusak Hutan adalah pekerjaan Dasamuka yang mengalirkan darah hitam untuk meracuni kehidupan, sedangkan darah yang bagus berwarna biru dan merah serta putih ke abu-abuan.
  7. Hidup tidak boleh sombong karena Alam akan menginjak sehingga sulit untuk bepergian, tetapi jika hidup santun tentu Alam akan memangku dan bersahabat sehingga luas tempat bepergian.
  8. Darma itu pekerjaan Ayah Adam, Darma itu pekerjaan Ambu Hawa, Darma itu pekerjaan Pangagung Syits, Darma itu pekerjaan Pangagung Anung, Darma itu pekerjaan Paman Haman, Paman Syaman dan Paman Awadi yang baik hati, Darma itu pekerjaan Sang Aki Mulia Sakti.
  9. Ajen itu mengajarkan darma yang baik agar Sang Hyang Batara Tunggal menyayangi, hidup harus insap dari kesalahan pasti Tuhan akan menurunkan hujan yang membawa kebaikan bagi ternak dan tumbuh-tumbuhan serta keturunan manusia.
  10. Apabila sakit, maka berobatlah, obat itu hadir didalam diri ( tubuh ), hati dan pikiran, adapula yang tersedia pada air yang keluar dari serapan Cadas Ceuri ( tanah ), ada yang di bawa oleh air sungai yang mengalir, atau pada daun-daun pohon, kulit pohon, akar pohon dan ludah burung, ada juga yang tersedia pada tanah, api dan udara, ajukanlah permohonan  dalam semedi kepada Sang Hyang Tunggal agar kembali jaya waluya dengan menarik dan menghembuskan napas kehidupan.
  11. Hidup di atas bumi harus ada Raja, ada Patih, ada Ing Paya, ada Patih Sahung, ada pula  Turus Juru Turus Juar dan harus ada Somah ( Rakyat ), Raja itu harus menjadi wakil Ayah Adam, wakil Pangagung Syits, wakil Pangagung Daris, wakil Pangagung Anung yang panjang umur serta tiga putranya yang baik hati dan melanjutkan Ajen Sang Aki Mulya Sakti yang telah mengemban tugas Raja di tatar Sunda dengan sakti mandraguna, jadilah Raja yang berani, bijaksana, tegas, adil dan kasih sayang.
  12. Patih itu mendapat tugas dari Raja, janganlah sekali-kali mengecewakan Raja, apabila Raja salah dan keliru luruskanlah bersama Ing Paya agar tidak mengecewakan para leluhurnya dan tidak membuat kecewa Somahnya ( Rakyatnya ), Patih harus benar-benar mewakili kepentingan Raja didalam melaksanakan tugas kerajaannya.
  13. Para Ing Paya harus tulus hati dan berniat lurus dalam mendidik dan berwejang, agar langit ke tujuh selalu menurunkan wangsit baiknya, sampaikanlah apa ynag menjadi tugas dari Sang Hiang Batara Tunggal agar Negri dan Bangsa tetap sentosa.      
Para Ing Paya harus membuka mata, telinga, hati dan pikirannya untuk menerima Ilmu, wangsit dari langit atau teguran dari Sang Hiang Tunggal melalui Alam jagat raya serta angkasa agar makhluk Tuhan tetap tenang.
     14. Patih Sahung adalah penjaga dan pemelihara Gunung dan Hutan yang paling setia, hidupnya akan     selalu tenang dan hatinya pun penuh riang, selama persahabatannya dengan Alam terjalin seperti madu   dengan malamnya ( sarangnya ), Patih Sahung mendengar suara Gunung dan Hutan baik suara sedih maupun gembira, Patih Sahung melihat air mata Gunung dan Hutan serta melihat pula senyumannya, sewaktu-waktu Patih Sahung didatangi Semar dari alam Kahiangan untuk membantu menghadapi Sang perusak Gunung dan hutan.
     15. Turus Jurui Turus Juar harus tetap mengamankan Negri dan membantu Sang Raja, membantu Patih, membantu Ing Paya, membantu Patih Sahung serta membantu dan menjaga Somah, tidak boleh menjadi pengkhianat bagi mereka, karena akan menderita dan menyesal di kemudian hari.
     16.  Menjadi Somah adalah anugrah Tuhan juga, oleh karena itu harus berlaku jujur dan patuh terhadap Ajen yang di sampaikan oleh Sang Raja melalui Patih, melalui Turus Juru Turus Juar, melalui Patih Sahung apalagi yang keluar langsung dari lisan para Ing Paya dan Sang Raja.
     17.  Ki Lengser sewaktu-waktu datang menjelma menjadi pengembala kerbau, sewaktu-waktu memakai mahkota putih, sewaktu-waktu menjadi Ing Paya, sewaktu-waktu menjadi Jema dan sewaktu-waktu menjadi Somah yang berbaring di pinggir jalan dan memakan sisa-sisa orang yang di buang, Ia selalu membawa pesan para budiman dan leluhur untuk mengingatkan tentang kebaikan dan gambaran.
     18.  Sang Aki Mulya Sakti mewariskan kebijaksanaan untuk mengangkat martabat manusia dengan lisannya yang lembut, tetapi sekali-kali dengan suara geledeg yang mendengingkan telinga.
     19.  Kujang Pilawa memiliki tangan baja dan kaki besi serta cahaya matanya yang bersinar seperti matahari untuk menyelamatkan bangsa dan Kerajaannya dari para penjahat dan perusak yang menginjak-injak harkat dan martabat Kerajaan.                                
     20.  Danu Sangkalang bersiul dan berkidung tentang keberhasilan yang harus di syukuri dan selalu di pertahankan, untuk kemudian melangkah demi kemajuan yang harus di daki dan di raih dengan menaiki kuda hitam dan kuda putih pemberian Aki Lengser dan Ki Semar Badranaya.
     21.  Hanoman selalu datang menolong Rama, Somantri selalu membantu Sastrabahu, Karang Tumaritis acuan Negri Amarta di Astina telah hadir Adipati karna.
     22.  Resi Kombayana punya suara, pinisepuh Togog punya alasan dan bawaan, Semar punya angin yang siap berhembus ke kanan dan ke kiri, Darmakusumah di aping oleh Langit dan Bumi.
     23.  Arjuna tampan rupawan, Arya Bima gagah perkasa, Niskala punya cerdik, Sadewa punya lincah, Astrajingga dan Dewala punya dataran yang sangat panjang.
     24.  Pangagung Anung membikin banyak perahu untuk menyelamatkan Somah dari banjir yang naik perahu Anung akan selamat dari bencana, yang naik perahu Pangagung Anung, adalah yang percaya kabar dari Sang Hiang Tunggal.
     25.  Pangagung Anung adalah leluhur Para Sunda, Para Sunda leluhur Bangsa Dwipa, Dwipa leluhur Para Raja Sawawa.
     26.  Mujasmedi adalah tanda bahwa kita percaya kepada yang Ada, yang Ada dari setiap yang ada, setiap yang ada itu ada karena ada yang maha Ada.
     27.  Mengayun dan mendidik hati serta akal pikiran untuk kehidupan dan kejayaan, mencuci dan membuang bila ada Jarian Moyan serta menjauhkan racun Dasamuka agar hidup aman dan sentosa, Jaya awaking jaya rohaning jaya, alam buana suka sukma ngahiang jaya,
            semoga jayaning jaya bagi kita para budiman. inilah yang sempat tercatat para Ing Paya.
    
   Ing Payagung, Ing Paya Tapak Laganastasoma dan Batu Sang Hiang Tapak
Usia Laganastasoma kini sudah mencapai 116 tahun, beliau pun memiliki lima orang anak, dan masing-masing memiliki keturunan.
Beliau merasa bahwa tidak lama lagi akan kembali menghadap Sang Pencipta, oleh karena itu Ia sering sekali berada di puncak Gunung Mananggel untuk bermujasmedi mendekatkan diri kepada Sang Hiang Widi.
Sampai pada suatu hari para murid dan yang mengawal beliau kehilangan Ing Payagung Ing Paya Tapak Laganastasoma, kemudian pencarian pun dilakukan oleh murid-murid dan para pengawalnya, namun seorang pun tidak berhasil menemukan jasad beliau, justru yang mereka temukan adalah bekas kaki kiri beliau yang berada diatas batu, dan tulisan beliau diatas kulit pohon, selain itu ada bekas tangan beliau dan peninggalan lainnya yang tersebar di beberapa batu besar dan kecil yang berada di puncak Gunung Mananggel.
Tulisan beliau yang ditinggalkan berbunyi sebagai berikut : Ayah Adam pada saatnya harus kembali ke asal, Ambu Hawa dipanggil oleh Tuhan, Ayah Syits juga kembali ke alam kalanggengan, Pangagung Daris telah istirahat di tempat yang layak, Pangagung Anung yang hidup seribu tahun kembali pula kepada Sang Hiang Widi, Paman Haman, Paman Syaman dan Paman Awadi mereka menunggu di Alam sana.
Kini giliran aku untuk mengikuti ketentuan Tuhan, leluhurku pergi ke Alam Nirwana aku pun pergi kesana.
Bersabarlah, tabahkanlah jiwamu, dan tetap harus darma untuk kebaikan, aku manusia sebagai Ing Paya dari keturunan Ayah Adam dan Ambu Hawa, keturunan Ayah Syits dan Pangagung Daris, keturunan Pangagung Anung serta darah dari Sang Aki Mulya Sakti yang berjaya, aku adalah putra mahkota Pitakumana Jaya seorang Raja Jampang Manggung yang mencintai Somah dan dicintainya, aku cucu Danu Sangkalang seorang yang cerdik dan pandai untuk memajukan Bangsa dan Negrinya, aku buyut dari Kujang Pilawa yang gagah perkasa, pemberani dan sakti mandraguna terkenal ke marcapada, Ia lah pendiri Jampang Manggung.
Semoga sentosa sejahtera berada pada manusia yang memahami Ajen Galuh, Ajen Pananggelan dan Ajen Galunggung dan mengupayakan untuk di jalankan sebaik-baiknya bagi kehidupan orang banyak serta makhluq Tuhan yang lainnya.
Selamat tinggal Laganastasoma Ing Pagung Ing Paya Tapak dengan meninggalkan cerita dan kenangan untuk keturunan dan generasi selanjutnya.
Inilah kata-kata yang ditulis di atas kulit pohon yang kemudian dibaca oleh murid-murid dan para pengawalnya dan di serahkan kepada keluarganya.           

Cianjur, 21 September 2009
Sumber (USt. Jalal) Pengasuh pondok pesantren "Bina Akhlaq" 

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Blogger Template by Blogcrowds